Softskill

Peran Koperasi Sebagai Penggerak Ekonomi Rakyat







                           DI SUSUN OLEH :
        HESTI NURJANAH 3EA34 14214971



               UNIVERSITAS GUNADARMA
                               2016/2017






                                    BAB 1
                          PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara kita adalah berdasar pada pancasila sebagaiman dengan jelas pada sila ke-5 pancasila yaitukeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedang para pendiri negara kita dahulu berjuang melawan penjajah untuk menjadi bangsa yang merdeka ,dan berjuang untuk menjadikan bangsa yang maju,sejahtera , adil dan makmur. Dewasa ini bangsa kita adalah merupakan bangsa yang merdeka, namun kita melihat bahwa bangsa kita masih termasuk dalam kelompok bangsa-bangsa yang terbelakang, dan kemajuan yang kita capai masih lamban. Dibidang produksi pangan misalnya, negara kita masih harus banyak mengimpor berbagai komoditi, seperti gula,kedelai,buah-buahan,sayuran dan sebagainya. Padahal tanah di Indonesia sangat cocok untuk ditanami tanaman-tanaman tersebut. Sebagian besar bangsa kita adalah hidup di pedesaan,karena itu untuk meningkatkan daya saingnya , pembangunan nasional harus memprioritaskan pemberdayaan sumberdaya manusia di pedesaan. Untuk itu koperasilah yang merupakan lembaga manajemen pemberdayaan sumberdaya manusia yang tepat.
Dalam era globalisasi yang dipicu oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dibidang transportasi dan revolusi di bidang komunikasi,sehingga arus globalisasi terasa bertambah kuat,sehingga dunia terasa makin datar (Thoms Friedman,2005) . Akibat arus globalisasi maka batas antar negara menjadi kabur dan akhirnya hilang, peranan negara makin lama makin kurang semuanya itu menyebabkan persaingan antar perusahaan
bertambah keras, akhirnya terjadi persaingan antar orang per orang dan terjadilah globalisasi yang menjurus pada liberalisasi. Semua arus perkembangan ini bermuara pada kapitalisme , oleh karena itu negara yang sedang membangun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi situasi dunia global dengan mempertahankan sistim perekonomian negara masing-masing.

Rumusan Masalah

Dalam sistem ekonomi kerakyatan yang ada di Indonesia, bagaimana pemberdayaan Koperasi untuk mengembangkan Ekonomi Rakyat?

Tujuan
Mengetahui Pemberdayaan Koperasi Untuk Mengembangkan Ekonomi Rakyat.


















                                                                   
                                     BAB II
                             PEMBAHASAN

  Gambaran Secara Umum
a.      Ekonomi Kerakyatan
Pengajar dari Fakultas Ekonomi UGM Mubyarto, menjelaskan bahwa Ekonomi Rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy“, atau “ekstralegal sector“. Ekonomi kerakyatan menunjuk pada sila ke-4 Pancasila, yang menekankan pada sifat demokratis sistem ekonomi Indonesia. Dalam demokrasi ekonomi Indonesia, produksi tidak hanya dikerjakan oleh sebagian warga tetapi oleh semua warga masyarakat, dan hasilnya dibagikan kepada semua anggota masyarakat secara adil dan merata (penjelasan pasal 33 UUD 1945). Ekonomi rakyat memegang kunci kemajuan ekonomi nasional di masa depan, dan sistem ekonomi Pancasila merupakan aturan main bagi semua perilaku ekonomi di semua bidang kegiatan ekonomi. Menurut San Afri Awang, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, pengertian ekonomi kerakyatan adalah tata laksana ekonomi yang bersifat kerakyatan yaitu penyelenggaraan ekonomi yang memberi dampak kepada kesejahteraan rakyat kecil dan kemajuan ekonomi rakyat yaitu keseluruhan aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh rakyat kecil.

b.      Koperasi
Dilihat dari asal katanya, istilah koperasi berasal dari bahasa Inggris co-operation yang berarti usaha bersama. Secara umum Koperasi dipahami sebagai perkumpulan orang yang secara suka rela mempersatukan diri untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka, melalui pembentukan sebuah perusahaan yang dikelola secara demokratis. Aturan-aturan pengoperasian koperasi yang kini menjadi Prinsip-prinsip Koperasi Rochdale yang dijadikan dasar oleh dasar bagi Koperasi-koperasi di dunia adalah sebagai berikut :

Keanggotaan yang bersifat terbuka (open memberships and voluntary)
Pengawasan secara demokratis (democratic control)
Bunga yang terbatas pada modal
            Pembagian SHU yang sesuai dengan jasa anggota (proportional distribution of surplus)
            Penjualan dilakukan sesuai harga pasar yang berlaku dan secara tunai  (trading cash)
            Tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama dan politik (political, racial, religious neutrality)
            Barang-barang yang dijual harus merupakan yang asli, tidak rusak atau  palsu
            Pendidikan terhadap anggota secara berkesinambungan (promorion of  education)

Di Indonesia Prinsip Koperasi telah dicantumkan dalam UU no.12 tahun 1967 dan UU no.25 tahun 1992,prinsip koperasi dinyatakan sebagai berikut ;
            Keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela
            Pengelolaan dilakukan secara demokratis
            Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usahamasing-masing anggota
            Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
            Kemandirian
            Pendidikan perkoperasian
            Kerjasma antar koperasi

Penjelasan mengenai Koperasi lainya juga disebutkan dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945,antara lain dikemukakan : “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Sedangkan menurut pasal 1 UU no 25/1992 Yang dimaksud koperasi di Indoensia adalah :badan usaha yang beranggotakan orang – seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatanya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Landasan, Asas, dan Tujuan Koperasi Indonesia sebagaimana diatur dalam UU 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dijelaskan pada bab II dalam dua pasal. Landasan dan asas koperasi dijelaskan dalam pasal 2, dan tujuan koperasi dijelaskan dalam pasal 3. Berikut kutipan bunyi lengkap pasal dimaksud:
Pasal 2
Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atas asas kekeluargaan.
Pasal 3
Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan  masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perkeonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

c.       Sejarah Koperasi Di Indonesia
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed 1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi.    
Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989, H. 1-2). Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam. Untuk memodali koperasi simpan-pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas masjid yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, H 9). Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas masjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya. Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten Presiden Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari cuti mulailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpan-pinjam yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari zakat. Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko-toko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan kekuatan sosial dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi antara lain :
         Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
         Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
         Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;

Pada akhir Rajab 1336 H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat (SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager adalah K.H. Hasyim Asy‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haji Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul Wahab Tambakberas dimana brankas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5 anggota. Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini untuk dijadikan periode “nahdlatuttijar”. Proses permohonan badan hukum direncanakan akan diajukan setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H. Boeke yang diberi tugas meneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi.
Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ). Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927 di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, dimana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebut menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas :
         Memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia mengenai seluk beluk perdagangan;
         Dalam rangka peraturan koperasi No 91, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;
         Memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan;
          Penerangan tentang organisasi perusahaan;
         Menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia (Raka.1981,h.42)
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama. Atas dasar catatan sejarah, terjadilah perkembangan koperasi seperti terlihat pada tabel berikut :
TABEL 1
TAHUN
                  JML.KOPERASI                  
JML. ANGGOTA

1930
                        39                                  
7.848

1931                        
                       133  
13.725

1932
                       172                              
14.134


Sumber : Sepoeloeh Tahoen Koperasi

Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam bentuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915. Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
Kongres Muhammadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939 jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423 koperasi (=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam (Djojohadikoesoemo,1940 h.82) sedangkan selebihnya adalah koperasi jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung. Adapun data perkembangan koperasi dari tahun de tahun dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL 2
Tahun      Jml. Koperasi                 Jml. Anggota            Jml Simpanan

1930               39                                7.848                         f. 101.296

1931               133                             13.725                        f.194.578

1932               172                             14.134                        f.264.184

1933               233                             18.444                        f.317.613

1934               263                             18.845                        f.375.577

1935               299                             19.298                        f.306.317

1936               324                             20.544                        f.302.399

1937               410                             28.999                        f.5703182

1938               540                             40.491                        f.633.082

1939               574                             52.555                        f.850.671


Sumber : Sepoeloeh Tahoen Koperasi

Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Militer.
Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau masyarakat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
         Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan-aturannya.
         Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan diadakan.
         Nama orang yang bertanggung jawab, kepengurusan dan anggota-anggotanya.
         Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan itu sekali-kali bukan pergerakan politik.

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi sebelum mendapat izin baru dari”Scuchokan”. Undang-undang ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).        Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.



2.2 Pembangunan Koperasi Indonesia

Keberadaan koperasi di Indonesia hingga saat ini masih ditanggapai dengan pola pikir yang sangat beragam. Hal seperti itu wajar saja. Sebab, sebagai seperangkat sistem kelembagaan yang menjadi landasan perekonomian kita, koperasi akan selalu berkembang dinamis mengikuti berbagai perubahan lingkungan.
Dinamika itulah yang mengundang lahirnya beraneka pola pikir tersebut. Gejala seperti itu justru sangat posisitf bagi proses pendewasaan koperasi. Jika kita kembali pada definisi yang ada, koperasi Indonesia telah diberi devinisi sebagai bentuk lembaga ekonomi yang berwatak sosial. Dalam lingkup pengertian seperti itu, banyak pihak yang menafsirkan koperasi Indonesia semata-mata hanya sebagai suatu lembaga dalam arti yang sempit, yaitu organisasi atau badan hukum yang menjalankan aktivitas ekonomi dengan tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu seyogyanya koperasi perlu dipahami secara lebih luas yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Jiwa dan semangat kebersamaan serta kekeluargaan itulah yang perlu ditempatkan sebagai titik sentral dalam memahami pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya secara lebih luas dan mendasar.
Dengan pemahaman demikian, jelaslah bahwa dalam demokrasi ekonomi jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan juga harus dikembangkan dalam wadah pelaku
ekonomi lain, seperti BUMN dan swasta, sehingga ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut dijamin keberadaannya dan memiliki hak hidup yang sama di negeri ini.
Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya upaya kita menterjemahkan pengertian koperasi ke dalam konsep sokoguru perekonomian kita? Jawaban sementara dapat
diketengahkan sebagai berikut, “jika kita ingin membangun pengertian dalam lingkup konsep sokoguru perekonomian nasional kita, maka intinya adalah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan tersebut secara substantif barada dan mewarnai kehidupan dari ketiga wadah pelaku ekonomi.”
Jadi membangun sokoguru perekonomian nasional berarti membangun badan usaha koperasi yang tangguh, menumbuhkan badan usaha swasta yang kuat dan mengembangkan BUMN yang mantap secara simultan dan terpadu dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak. Karena pemahaman dan pemikiran terhadap koperasi dalam arti yang luas dan mendasar seperti dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, memang sangat diperlukan. Apalagi, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan pembangunan kita di masa yang akan datang.
Seperti telah kita sadari bersama bahwa dalam era tinggal landas nanti, untuk mewujudkan perekonomian yang berlandaskan Trilogi Pembangunan setidak-tidaknya terdapat tiga tantangan besar yang perlu diantisipasi oleh ketiga wadah pelaku ekonomi,
yaitu;
1. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam situasi proses globalisasi ekonomi yang makin meluas.
2. Mempercepat pemerataan yang makin mendesak mengingat 36,2 juta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan.
3. Memelihara kesinambungan kegiatan pembangunan yang stabil dan dinamis dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya berbagai kendala yang menghambat upaya kita menjawab kedua tantangan di atas. Untuk menjawab dengan tepat tantangan tersebut di atas,
diperlukan komitmen dan tanggungjawab yang besar dari ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut.
 Kongkritnya adalah peningkatan dan pematangan integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi, yang dilandaskan atas jiwa dan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Proses integrasi tersebut adalah proses hubungan keterkaitan integratif yang telah dan sedang dilaksanakan untuk mengembangkan ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing. Peningkatan dan pemantapan proses integrasi tersebut mutlak harus dilaksanakan untuk menjawab tantangan pembangunan di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan masalah mendasar tersebut, adalah menarik untuk dikaji pemikiran beberapa pakar yang mengatakan bahwa dalam tata perekonomian kita yang didasarkan pada Demokrasi Ekonomi, ketiga wadah pelaku ekonomi memang mempunyai komitmen dan tanggungjawab yang sama terhadap terwujudnya Trilogi Pembangunan.    
Namun demikian sesungguhnya terdapat pembagian kerja bagi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Pembagian kerja tersebut merupakan konsekuensi akibat perbedaan ciri-ciri organisasi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan tingkat efisiensi masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut dalam mencapai salah satu unsur dari Trilogi Pembangunan.
Dilihat dari tingkat efisiensi, masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut mempunyai keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan Trilogi Pembangunan. Melalui pemikiran tersebut di atas, dapat
dirumuskan suatu pola pembagian kerja di antara ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut, bukan dalam bentuk gagasan pengkaplingan bidang usaha, melainkan dalam pembagian kerja
secara fungsional yang berlandaskan pada Trilogi Pembangunan.
Koperasi dengan sifat-sifat khas berdasarkan prinsip kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk melaksanakan secara langsung tugas pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tidak mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya di bidang pertumbuhan dan stabilitas. Pemikiran tentang tugas pokok koperasi seperti diuraikan oleh para pakar tersebut, memang dapat merupakan rasionalisasi dari tugas koperasi yang telah secara tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka panjang [GBHN], yaitu sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah agar mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan sekaligus dapat ikut menikmati hasil-hasilnya.
Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan tugas funsional koperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila fungsinya diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan
potensi pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan tugas stabilitas dan pemerataan. Sedangkan BUMN, sebagai satu wadah pelaku ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam
tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi merintis pertumbuhan dan pemerataan.Apabila kita dapat mengikuti pemikiran para pakar seperti diuraikan di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masing-masing wadah pelaku ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri. Ketiga wadah pelaku ekonomi tadi justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara integratif. Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan nasional kita tidak akan mencapai produktivitas dan efisiensi nasional yang tinggi. Di samping itu kita akan selalu menghadapi munculnya kesenjangan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat pemerataan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat
stabilitas nasional.
Hal ini disebabkan swasta dan BUMN, sesuai dengan ciri organisasi dan tugasnya, memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat. Sedangkan koperasi, sesuai dengan ciri-ciri dan tugasnya yang berorintasi pada upaya
peningkatan pendapatan masyarakat golongan ekonomi lemah, tumbuh dan berkembang lebih lamban dibanding dengan kedua wadah pelaku ekonomi.
Oleh karena itu, harus diusahakan agar tingkat pertumbuhan koperasi dapat sejajar dan selaras dengan tingkat pertumbuhan pihak swasta dan BUMN sehingga tercapai pertumbuhan yang merata. Untuk itu tidak dapat dihindarkan bahwa tingkat perkembangan koperasi pada umumnya harus secara aktif dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi pada wadah pelaku ekonomi swasta dan BUMN. Sebaliknya pihak swasta dan BUMN dalam
pertumbuhannya mempunyai kewajiban untuk membantu koperasi dengan memberikan peluang dan dorongan melalui proses belajar yang efektif. Tentu saja bantuan tersebut tanpa harus mengganggu prestasi dan gerak pertumbuhan swasta dan BUMN itu sendiri.
Dengan demikian koperasi, dalam proses perkembangannya, akan lebih terdorong untuk berkembang lebih cepat dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai wadah pemerataan dan mampu mempertahankan perkembangannya, sehingga tidak menjadi beban
bagi swasta dan BUMN.
Kondisi semacam itu merupakan wujud nyata gambaran pelaksanaan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam tata perekonomian nasional kita. Dalam hubungan itu tepat apa yang dijabarkan ISEI dalam naskah penjabaran Demokrasi
Ekonomi, bahwa wadah pelaku ekonomi yang kuat tidak dihalangi dalam upayanya memperoleh kemajuan dan perkembangan. Mereka justru berkewajiban membantu perkembangan wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang lemah perlu dibantu dan diberi dorongan agar dapat lebih maju.
Dengan demikian semua pelaku ekonomi dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama sesuai dengan fungsinya.
Selanjutnya bentuk hubungan keterkaitan integratif tersebut dalam pelaksanaannya harus tetap dilandaskan dan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Oleh karena itu keterkaitan integratif harus dilaksanakan
tetap dalam kerangka hubungan yang saling memberi manfaat, baik manfaat ekonomi maupun manfaat sosial. Manfaat sosial di sini berarti bahwa secara langsung maupun tidak langsung, jangka pendek maupun jangka panjang, pasti akan memberikan manfaat ekonomi.
Secara lebih kongkrit bentuk keterkaitan integratif dapat berupa tiga bentuk utama, yaitu: persaingan yang sehat, keterkaitan mitra-usaha dan keterkaitan kepemilikan. Dalam
membahas keterkaitan integratif melalui persaingan yang sehat, bentuk keterkaitan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan adanya kesepakatan untuk bersaing dengan masing-masing mendapatkan keuntungan yang wajar tanpa harus saling merugikan.
Hal itu dapat diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi masing-masing pihak dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal, maupun melalui pemanfaatan peranan salah satu wadah pelaku ekonomi sebagai pengimbang bagi pelaku ekonomi lain dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang tertentu.
Semua langkah tersebut diorientasikan pada upaya untuk selalu mengefisienkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dengan tetap menerima kondisi keterkaitan satu sama lain dalam sistem perekonomian nasional.
Salah satu contoh keterkaitan integratif seperti diuraikan di atas dalam bentuk yang mungkin masih terus disempurnakan, diantaranya adalah tata niaga pangan, khususnya padi dan palawija.
Dalam tata niaga pangan tersebut, telah dapat diwujudkan suatu bentuk keterkaitan antara BUMN, koperasi dan swasta, baik sebagai produsen maupun konsumen yang masing-masing dapat menjalakan tugas pokoknya dan mendapatkan keuntungan serta manfaat yang
wajar sehingga mereka dapat lebih tumbuh bersama secara merata dan saling tergantung satu sama lain.
Selanjutnya bentuk keterkaitan integratif lainnya dapat bersifat komplementer atau substitusi pada suatu bidang usaha tertentu. Keterkaitan komplementer diartikan bahwa setiap wadah pelaku ekonomi yang masih lemah di bidang tertentu, dapat dibantu dan diperkuat oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang mampu di bidang itu, sehingga secara bertahap yang lemah tadi menjadi kuat.
Dalam hubungan itu masing-masing wadah pelaku ekonomi yang terlibat dalam hubungan tersebut haruslah berada dalam posisi dan kedudukan yang setaraf. Dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan dapat dibagi secara proporsional atau seimbang, sesuai dengan prestasi masing-masing wadah pelaku ekonomi. Bentuk keterkaitan Bapak–Anaka angkat, Pola PIR, adalah beberapa contoh bentuk keterkaitan komplementer seperti diuraikan di atas.
Dalam kerangka keterkaitan substitusi tersebut apabila salah satu wadah pelaku ekonomi, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan misi dan peranannya maka untuk sementara peranan tersebut dapat digantikan oleh wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih mampu. Dalam kaitan itu, bentuk substitusi ini dapat dilakukan baik oleh BUMN maupun swasta besar untuk membantu wadah pelaku ekonomi lain yang masih lemah, baik yang tergabung dalam bentuk swasta maupun koperasi.
Selanjutnya pada saat tertentu, jika kondisinya telah memungkinkan, BUMN dan swasta dapat secara bertahap menyerahkan kembali kepemilikan dan pengelolaan usaha itu
kepada salah satu wadah pelaku ekonomi yang lemah tadi sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkannya. Apabila kegiatan usaha tersebut menyangkut pemerataan, pemilikan dan pengelolaan usaha tersebut diserahkan kepada koperasi. Sedangkan kegiatan usaha yang menyangkut bidang pertumbuhan ekonomi dapat diserahkan pada sektor swasta.
Sebagai contoh yang aktual, bentuk keterkaitan substitusi adalah Tata Niaga Cengkeh. Karena koperasi belum mampu melaksanakannya sendiri, tugas tersebut dilaksanakan oleh swasta yaitu BPPC. Selanjutnya secara bertahap sesuai dengan kemampuan koperasi, tugas tersebut diserahkan secara penuh kepada koperasi.
Ketiga bentuk keterkaitan tersebut di atas, suatu saat akan sampai pada posisi yang lebih terintegrasi secara total, dalambentuk keterkaitan kepemilikan. Melalui bentuk keterkaitan tersebut, secara bertahap koperasi dapat memilki saham perusahaan, baik koperasi itu sendiri memilki keterkaitan usaha secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan dimaksud.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa integrasi ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut yang telah mulai dilaksanakan pada PJPT–I ini harus terus ditekankan dan dimantapkan sebagai wadah odasar guna menggerakkan upaya mewujudkan Trilogi Pembangunan:
pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas yang secara selaras,terpadu, saling memperkuat serta mendukung sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing wadah pelaku ekonomi
tersebut di masa mendatang.
Dari keseluruhan pola pikir seperti diuraikan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa dalam tatanan perekonomian nasional,koperasi Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan, terutama terwujudnya pemerataan.








BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
            Dalam kondisi Negara kita yang sedang dilanda kemiskinan dan persaingan perekonomian yang sangat ketat ini, nampaknya sangat tepat sekali sebagai peluang dan kesempatan untuk memberdayakan koperasi dan UKM untuk memperbaiki perekonomian Negara kita mulai dari kalangan bawah atau miskin. Karena sifat koperasi yang sangat fleksibel,responsive dan mudah beradaptasi diberbagai kondisi perekonomian. Sebagai faktor pendukung agar terwujudnya koperasi dan UKM seperti yang dicita-citaka tidak kalah pentingnya faktor SDM yang menjalankannya. Dari semua pembahasan diatas marilah kita berdayakan koperasi dan UKM untuk memperbaiki perekonomian Negara yang kita cintai ini. Karena koperasi dan UKM merupakan ujung tombak perekonomian Negara.

3.2  Daftar Pustaka
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4523&val=426
http://www.damandiri.or.id/file/buku/subiaktobukukoperasibab3.pdf
http://ainasulfa.blogspot.co.id/2011/10/sistem-ekonomi-kerakyatan-melalui-wadah.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal pilihan ganda komunikasi bisnis

penjelasan the noun phrase

exercise 3 and exercise 4